![]() |
Illustration of Forgiveness (Source: www.unsplash.com) |
Bicara soal lebaran, udah pasti kita tau tradisi apa yang sering berlangsung di Indonesia. Betul sekali, saling memaafkan. Ada beberapa hal yang tidak jarang dilakukan seperti kumpul bersama keluarga besar, makan-makan bersama, menghubungi kerabat lama yang letaknya jauh di sana, dan pastinya yang udah gua sebutin tadi, saling memaafkan. Walaupun lebaran tahun ini sedikit berbeda karena Covid-19, pastinya yang lagi ramai adalah video call yang disebakan ngga bisa mudik ke kampung halaman. Tetapi ngga jarang (berdasarkan pengamatan pribadi) saling memaafkan ini hanya sekadar formalitas, karena ada beberapa oknum yang hanya mengikuti tradisi aja. Padahal dalem hatinya ya ngga tau beneran udah memaafkan apa belum. Ya gua barharap semoga itu hanya asumsi gua aja, atau dari kalian ada yang ngerasa gitu juga?
Fenomena di hari lebaran yang gua lihat dan rasa ngga hanya itu. Kadang onang terlalu bangga dan senang sekali karena sudah memaafkan orang lain, karena menurut gua yang namanya "terlalu" itu kurang baik. Seakan hubungan mereka dengan sekitarnya sudah seperti terlahir kembali, layaknya bayi yang masih suci. Tapi ada beberapa orang yang lupa dan menjadikan pertanyaan besar.
Apakah mereka udah memaafkan diri sendiri?
Kita tau sebagai manusia pasti tidak luput dari yang namanya kesalahan dan dosa kepada pihak lain, entah saat ini atau di hari sebelumnya. Walaupun kita sudah pernah meminta maaf dan mendapatkan kata maaf dari pihak lain, tetapi tidak jarang kita belum memaafkan diri sendiri. Seperti masih menyalahkan diri sendiri (terucap atau dalam hati), menghina diri sendiri, sering berpikir kesalahan di masa lalu dalam memori singkat, tidak bisa tidur karena overthinking, dan masih banyak lagi. Apakah hal tersebut bisa dikatakan udah memaafkan diri sendiri? Pendapat gua secara subjektif dan tegas, itu belum!
Hidup seperti itu menurut gua bakal menyiksa diri sendiri. Bakal ada rasa trauma yang tinggi, sehingga kadang terlalu takut untuk melakukan beberappa hal (menjadi ciut). Ngga hanya itu, ada kemungkinan kehidupannya dihantui akan rasa bersalah. Dampaknya sudah pasti adalah tidak adanya produktivitas atau progres dalam hidup. Sungguh hal yang tidak sehat, bukan?
Akhir tulisan ini bukan mau memberikan solusi jitu bagaimana caranya bisa memaafkan diri sendiri, karena gua pribadi ngga tau cara pastinya. Cuma, ada beberapa solusi yang pernah gua denger dari orang lain dan baca-baca beberapa artikel, mungkin akan berguna buat kalian, atau bahkan ngga berguna. Pertama, cari temen yang bener-bener pendengar yang baik. Pendengar yang baik bukan cuma bisa literally "denger", tapi dia yang bisa denger dan memahami ceritalu, menunjukkan rasa simpati atau bahkan empati. Udah tuh, ceritain semua yang kalian ingin ceritain dan rasain. Mungkin dengan begitu beban bisa terbagi dan bisa lepas. Ngga cuma itu, mungkin aja lawan bicara bakal ngasih advice untuk kita. Inget, orangnya harus yang menurut kalian bisa dipercaya. Kedua, minta kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mungkin berdoa memohon ketenangan jiwa, sehingga dapat melanjutkan kehidupan dengan lebih baik. Ketika kita bersungguh-sungguh meminta, pasti akan dikabulkan. Dan Terakhir menurut gua adalah pergi ke psikolog atau psikiater, ceritain aja semuanya, ngga jarang psikolog yang kita datengin cocok sehingga bisa memberikan nasihat secara tepat sasaran, bisa jadi ngga cocok juga. Tapi yang namanya usaha ngga ada yang tau, dicoba dulu aja. Mungkin mereka-mereka akan lebih tau apa yang terjadi pada psikis kita.
Gua berharap dengan begitu kehidupan kita menjadi lebih baik ke depannya dan mendapat ketenangan jiwa. Aamiin.
0 Komentar