Indonesian Food (Photo by PETER TEOFILUS KARUNDENG on Unsplash)

Latar tempat tidak terdeskripsikan begitu jelas, tapi sepertinya terjadi di kampung halamanmu. Sore itu setelah pulang kerja, aku menghampiri rumahmu. Aku pun bertemu kedua orang tuamu di pintu depan, mereka bergegas akan pergi entah ke mana. Aku memanggil-manggil namamu untuk ku ajak makan keluar, tapi sepertinya kamu tidak ingin keluar. Jika tak mau keluar biasanya moodmu tidak baik, penyebabnya apa aku tidak tahu. Aku terus mendesak, memaksamu untuk keluar. Akhirnya kamu pun keluar dengan wajah ketus. Menggunakan kemeja putih garis-garis vertikal, bagian lengannya tergulung hingga siku, bagian bawahnya masuk ke dalam celana jeans berwarna biru. Semua lebih terlihat lengkap dengan flat shoes berwarna light pink yang sedang kamu gunakan. Kala itu kamu belum seterkenal saat ini.

Awal-awal kita berjalan mengilingi gang-gang sempit di antara rumah-rumah sederhana. Tidak kumuh, warnanya catnya saling padu, pot-pot tanaman memeriahkan, lingkungannya terang dan rapi, intinya perumahannya tetap terasa nyaman dan aman. Kita berjalan sembari menentukan tempat makan yang akan dituju, aku berencana mentraktirmu hari itu. Mencari-cari informasi restoran di sekitar situ melalui internet, tapi kita sependapat bahwa harga makanannya terlalu mahal dan tidak sebanding. Akhirnya aku mengusulkan tempat makan yang merupakan cabang dari langganan kita semasa kuliah. Itu sudah pasti cerita yang tak nyata, karena kita memang tidak pernah berkuliah di tempat yang sama. Tidak perlu berpikir panjang, kamu setuju.

Sampai di tempat, kita memesan makanan kepada ibu penjual seperti biasa, tidak ada yang aneh. Hanya ada sekumpulan anak kuliahan yang baru pulang, tetapi tetap tidak ada yang ganjil, semua normal saja. Kita duduk, makanan tiba, mulai makan, dan berbincang sesekali. Ada perbincangan yang begitu membekas sampai aku tidak lupa. Kala itu aku bertanya padamu, "Mengapa orang-orang ingin mempunyai anak? Apa motivasi mereka?", lalu kamu menjawab dengan makanan ada di mulutmu "Jangan tanya aku, memangnya aku sudah menikah dan memiliki anak?", sambil sedikit senyum aku mengangguk membenarkan jawabanmu. Karena yang aku tahu, memang kamu belum memikirkan soal pernikahan. Kita pun melanjutkan makan hingga selesai.

Setelah mengobrol sekali-dua kali, kamu mengajak pulang. Sesuai janji, aku yang membayar makanannya. Hari sudah cukup gelap. Walau musim semi, kala itu tetap terasa dingin. Kita berjalan menyusuri gang-gang, menuju rumahmu, aku mengantarmu. Di tengah perjalanan aku bertanya padamu lagi, "Jika kita sudah mulai tua dan tidak memiliki anak, siapa yang akan merawat kita ya?". Tetapi sayangnya, cerita berakhir begitu saja. Aku pun tidak mendapat jawaban dari pertanyaanku. Semuanya selesai.